Mengapa Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, tidak gentar dengan Barat? Pidatonya saat membuka World Conference on Youth and Islamic Awakening
(29/1) memberikan sedikit latar. Kesempatan berharga penulis
mengikutinya kata per kata secara langsung. Di hadapan ribuan pemuda
dari 80-an negara berpenduduk muslim berbagai mazhab di seluruh dunia,
Ahmadinejad menyampaikan paparan filosofis mengapa bangsa-bangsa harus
bangkit (awakening) melawan tirani. Ada beberapa aspek
dalam diri dan kebijakannya yang kontroversial, tapi beberapa esensi
dalam pidatonya kali ini mengingatkan penulis pada Bung Karno dalam
posisinya tentang keberagamaan dan kekritisannya terhadap asing.
Allah menciptakan alam semesta,
menurut Ahmadinejad, untuk melayani manusia. Sebab manusia merupakan
makhluk Tuhan paling mulia, representasi Tuhan, dan refleksi nilai-nilai
ketuhanan. Manusia manifestasi terbaik Tuhan di muka bumi. Tuhan
mengkongratulasi diri-Nya dengan menciptakan manusia.
Misi utama manusia adalah
perfeksi (penyempurnaan) dan salvasi (penyelamatan). Argumentasi utama
kehadiran manusia adalah untuk mewujudkan atribut-atribut ketuhanan.
Misi tersebut dapat dicapai dengan dua faktor. Pertama,
keadilan. Keadilan merupakan faktor fundamental. Tanpa keadilan,
kebenaran dan kemuliaan manusia akan mati. Para nabi terdahulu telah
berusaha sekuat tenaga menggerakkan manusia ke arah penyempurnaan dan
penyelamatan. Mereka gigih berjuang menegakkan keadilan. Sebab tanpa
keadilan, tidak ada nilai ketuhanan yang bisa diwujudkan.
Kedua, kebebasan.
Manusia diciptakan sebagai makhluk merdeka. Mereka dapat membuat
pilihan. Mereka bebas menentukan nasibnya sendiri. Tanpa kebebasan,
manusia juga tidak bisa mewujudkan nilai-nilai dan atribut-atribut
ketuhanan yang melekat dalam diri mereka.
Dua faktor tersebut dapat direalisasikan melalui dua nilai fundamental. Satu,
monoteisme. Kepercayaan kita pada satu Tuhan akan memandu kita pada
perilaku adil. Berbagai agama semitik sesungguhnya berhulu pada Tuhan
yang sama. Musa, Ibrahim, Isa, dan Muhammad, semuanya adalah utusan
Tuhan. Mereka membawa agama Tuhan. Maka semua pemeluk agama harus
bersatu untuk menegakkan keadilan, bukan saling memusuhi satu sama lain.
Dua, cinta
dan kasih sayang sesama manusia. Kita tidak bisa merealisasikan
keadilan dan kebebasan tanpa adanya cinta dan kasih sayang antar sesama.
Para nabi utusan Tuhan merupakan manifestasi kemanusiaan: manusia
sebagai representasi nilai-nilai ketuhanan. Mereka semuanya menebarkan
cinta dan kasih sayang. Maka cinta terhadap sesama harus dimaknai
sebagai cinta terhadap kesempurnaan Tuhan, cinta kepada Tuhan.
Faktanya, misi penciptaan
manusia, misi para nabi, untuk mewujudkan nilai-nilai dan
atribut-atribut ketuhanan belum tercapai. Sebab, keadilan dan kebebasan
itu belum terwujud. Penyebabnya adalah adanya kelompok-kelompok selfish,
hegemonik, imperialis, dan arogan yang menghalangi manusia untuk
mencicipi keadilan, harga diri, juga kepercayaan mereka. Mereka berada
di dua level kekuasaan: lokal dan global.
Kelompok itu mengontrol
pemerintahan lokal negara-bangsa. Mereka mengendalikan sumber daya dan
kekayaan alam yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Mereka menjadi
tirani. Sekelompok orang menjadi penghalang terwujudnya filosofi
penciptaan makhluk: manusia dan semesta.
Merekalah musuh sejati
kemanusiaan. Mereka musuh pemeluk agama-agama. Umat beragama mesti
bersatu melakukan perlawanan atas tirani tersebut. Mereka harus bangkit
untuk tegaknya keadilan dan kebebasan.
Begitulah tauhid Ahmadinejad. Tauhid yang menjadi essence
untuk mempersatukan manusia, mengikat suatu bangsa dari beragam latar
agama. Revolusi umat beragama negara-bangsa apapun adalah revolusi
melawan tirani global, yaitu zionisme dan imperium global Amerika
Serikat, atau pemerintahan lokal yang menjadi komprador dan dikontrol
mereka. Sebab mereka semua menghalangi manifestasi filosofi penciptaan
makhluk (alam dan manusia). Maka wajar bila Iran memiliki hubungan mesra
dengan Venezuela atau Bolivia. Mereka punya garis pijak yang sama di
hadapan musuh kemanusiaan.
Dalam horizon filosofis
demikian, relevan untuk mengingat ulang “doktrin” Bung Karno tentang
ketuhanan dan Trisakti. Dalam proses perumusan Pancasila pada sidang
BPUPKI, Bung Karno menegaskan tentang ketuhanan sebagai “sila jangkar”
Pancasila. Pada pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno berujar lugas: “…Marilah
kita semuanya ber-Tuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan
tiada egoisme-agama…”
“…Marilah kita di Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip
kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan,
ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat
menghormati satu sama lain… Disinilah, dalam pangkuan asas yang kelima
inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang
ini akan mendapat tempat sebaik-baiknya…”
Itulah tauhid fungsional Bung
Karno. Monoteisme para penghamba Tuhan di Indonesia, menurut Bung Karno,
mestinya jadi energi yang mempersatukan mereka. Mereka berada di jalan
yang sama untuk memanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan
(divine values and attributes). Sesama pemeluk agama memiliki space yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan (divine virtues) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
Bila merujuk Bapak Pendiri
Bangsa tersebut, kita seharusnya menyesal menyaksikan situasi
keberagamaan kontemporer. Para pemeluk agama lebih sibuk mengurusi
teologi dan bahkan sekedar ritus pemeluk agama lainnya, alih-alih
bersatu memerangi musuh kemanusiaan: tiran yang merintangi perwujudan
filosofi penciptaan makhluk. Pemuka agama di suatu daerah lebih sering berfokus
mengupayakan agar pemeluk agama berbeda memeluk agamanya, daripada
berjuang agar kekayaan alam yang diciptakan Tuhan di daerah itu
betul-betul diperuntukkan bagi kesejahteraan manusianya.
Bangsa yang terdiri dari
manusia-manusia beragama mestinya bersatu untuk membela misi Tuhan
menciptakan manusia dan semesta. Konkritnya, menurut Bung Karno, dengan
cara sekuat tenaga menegakkan tiga kesaktian bangsa, Trisakti: berdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang kebudayaan.
Sudah terwujudkan Trisakti itu? Belum. Maka hindari “perang” antar sesama. Agenda mendesak kita, “jihad”
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, mewujudkan keadilan, dan
kebebasan kita untuk sejahtera oleh kekayaan alam ciptaan Tuhan untuk
kita. Untuk alasan itu, Ahmadinejad kini dan Bung Karno dulu, keras
melawan intervensi asing! http://politik.kompasiana.com/2012/07/06/tauhid-ahmadinejad-dan-bung-karno/
Posting Komentar