Pengantar Redaksi: Untuk liputan Fokus kali ini, Redaksi Indiependen mewawancarai Prof. Emeritus Benedict Anderson alias Soebeno alias Bargowo dari Cornell University, USA. Mengingat jawabannya utuh, maka Redaksi menyajikannya sebagai tulisan Ben “Subeno” Anderson alias Bargowo mengenai dirinya, G30S dan Cornell Paper. Berikut penuturannya lewat sajian yang khas.
HALO kawan2 di Tanah Air! Djawaban2 jang berikut ini, djangan terlalu pertjaja jah karena Cornell Paper (CP) itu usianja 45 tahun lebih, dan saja ada banjak memory-loss alias tanda kepikunan.
Ingat saja, sumber2 kami sebagian besar koran2, jang dikirim oleh agen Library of Congress ke Cornell dan itu makan waktu sekitar l bulan. Jang paling penting adalah koran2 daerah jang ketika itu misih ada jang kere2an, plus ada reportase lokal jang berlainan dari isu koran2 Djakarta. Plus ada FBIS, bulletin setengah ‘resia” jang isinja siaran2 radio dari ampir setiap Negara di dunia –produk NSA. FBIS artinja Foreign Broadcasting Information Service. Bulletin2 ini tjepat, dan walaupun setengah resia, kok hampir semua perpustakaan universitas jang berkaliber mendjadi langganan.
Kami tjuriga dari awal, karena tjepat sekali dapat siar2an Untung cs dari FBIS. Pertama: Dewan Revolusi jang diumumkan sama sekali nggak masuk akal, karena sebagian besar orang2nja bukan tokoh ngetop,… malahan ada beberapa orang jang djelas ‘kanan.’ Kedua: pengumuman bahwa semua orang jang berstatus Kolonel, Brig Djen, Maj Gen, Let Gen (dan equivalennja di ALRI dan AURI) akan dihilangkan pangkat. Ini kan gila – sekaligus membuat puluhan, malahan ratusan tentara senior musuh dari G30S. Kami jakin bahwa Aidit cs nggak mungkin bikin pengumuman2 jang aneh dan gila itu. Koran2 Djakarta pada bulan Okrtober penuh sesak dengan bo’ongan jang gampang diliat konjolnja. Kalo PKI mendjadi mastermind, bo’ongan2 ini tak perlu dimasukin koran2 tentara. Djelas ada ‘strategi’ membohongi masjarakat -djadi ada apa jang mau disembunjikan oleh Harto cs.
Di Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) ketika itu, hanja 3 orang bule jang ada waktu untuk mendiskusikan apa jang terdjadi di Indonesia, plus fasih bahasa Indonesia dan ada pengalaman di Indonesia. Tentu seniornja Mbak Ruth (Ruth T. McVey, red), jang PhD selesai 2-3 tahun sebelumnja, dan belum mulai djadi professor. Djadi dia bebas 100%.
Saja sendiri masih tjoba2 menulis skripsi, (selesai baru pada bulan April 1967), plus saja harus mengadjar sebagai asisten Pak Kahin (George Mc Turnan Kahin, red). Fred Bunnell mendjadi jang paling junior. Belum bikin skripsi dan tidak mendjadi asisten. Selama bulan Oktober-November 1965 kami sama2 tjari informasi –dalam hal ini Fred dan Mbak Ruth paling radjin. Setelah itu, selama bulan Desember kami sudah sepakat bikin analisa sementara. Jang menulis hanja Mbak Ruuth dan saja. Karena top expert perkara PKI, dan berkenalan pribadi dengan tokoh2 top PKI. Mbak Ruth ditugaskan untuk menulis tentang mentalnja, karirnja, strategi politiknja dan lain2 –dimana kesimpulannja– nggak mungkin G30S mendjadi mastermind. Tugas saja adalah menulis narasi kedjadian2 selama awal tahun 65, prolog G30S, G30S orang2nja gimana, mulai pembantaian PKI. Fred mengatur tjakaran kaki. Pak Kahin sangat setudju dengan usaha kami, membatja naskah kami, dan mengurangi tugas2 saja.
Ketika naskah itu selesai, sekitar 6 Djanuari 66, kami sepakat bahwa karangan kami harus diresiakan, karena kami takut bahwa kawan2 kami di Indonesia dan di Cornell bisa tjelaka, mengingat suasana di Indonesia ketika itu. Tapi kami kirim eksemplar2nja kepada beberapa kolega –termasuk umpamanja Pak Wertheim, Pak Dan Lev– karena kami ingin komentar mereka, kritik djuga. Kepada orang2 ini kami bilang, naskah ini tak boleh disebut, tetapi info jang ada didalamnja boleh dipakai kalau mereka mau menulis tentang G30S. Tapi ternjata kami masih amatir2.
Pak Kahin, jang sibuk sekali melawan policy AS di Vietnam, dan sering ke Washington, pada suatu waktu mohon Mbak Ruth pergi ke Washington untuk tjerita tentang Cornell Paper dengan seorang kolumnis tersohor jang djuga sangat anti-Perang Vietnam. Si kolumnis inilah jang membotjorkan aktivitas kami. Sampai sekarang saja nggak tahu apakah dia memang bodoh (inosen) atawa tak peduli konsekwensi dari kolomnja. Tentunja birokrat2 di Deplu, CIA, Pentagon marah besar, dan skandal ini langsung dikasih tahu pada geng tentara di Djakarta.
Karena diketahui bahwa jang menulis CP itu misih graduate student, bukan professor, dan kami semua masih muda, ada strategi tentara untuk mendekati kami dengan kejakinan bahwa kami akan ngaku salah, dan achirnja akan menerima versi resmi. Pada summer 1967 dan 1968 saja masih diberikan visa untuk meneruskan membaiki skripsi saja jang achirnja diterbitkan sebagai buku pada tahun 1972. Tentunja saja harus hati2 sekali. Pak Kahin djuga kesono untuk melindungi saja dan Fred. Dia sering ketemu dengan djago2an militer dan sipil, dan selalu bilang pada mereka bahwa kami memang sangat muda, tetapi bukan orang2 jang ngotot. Ada kemungkinan kami akan merobah analisa kalau tentara sendiri memberikan dokumen2 penting, chususnja laporan2 stenografis dari Mahmilub.
Memang setelah itu ada delegasi besar (dua kali) Ali Murtopo, Benny Moer, dan grup jang pegang Mahmilub –setiap kali mereka memberikan fotokopi2 dari sidang Mahmilub. Djusteru di salah satu djilid saja ketemu laporan dari doktor2 ahli majat jang menganalisa luka2 pada badan djendral2 jang dibunuh oleh Tjakra pd 1 Oktober 65. Dokumen jang luar biasa masuk sebagai lampiran -Gila! Setelah membatja laporan itu, jang diarahkan langsung ke Harto, pada 5 Oktober 65, saja 100% jakin bahwa a) pembotjoran dokumen ini tidak dengan sengadja; b) membuktikan bahwa versi Tentara tentang G30S bo’ong melulu. Djendral2 dibunuh oleh tentara lain (ditembak), dan tidak ada penjiksaan apalagi mata dan konthol masing2 dipotong. Jah, tahun 1972 saja ditjekal.
Kemudian, Mbak Ruth pindah ke London, mendjadi prof di SOAS (School of Oriental and African Studies, red), sedangkan si Fred djuga djadi prof di Uni Vassar. Saja sendiri sangat sibuk sebagai prof muda jang belum dapat tenure, lagi pegang madjalah Indonesia, plus mulai bikin riset tentang Thailand, sambil beladjar bahasanja. Sebelum Mbak Ruth dan Fred pindah, kami radjin bikin arsip besar tentang tentara di Indonesia 1950-70, berdasarkan koran2 di pusat dan di daerah. Ini kami pakai untuk mengikuti riwajat, nasib, ideologi dari tentara, termasuk sedjarahnja sedjak revolusi. Karena itu kami bisa -setiap 1-2 tahun– untuk bikin analisa tentang perobahan personel dan pangkat di kalangan TNI. Arsip ini membuat Mbak Ruth bisa menelurkan dua naskah jang bagus tentang latar belakang grup Untung dan sekutu2nja, ditambah oleh hasil interviu2 dengan tentara, politisi, ex-tapol. Mbak Ruth dibiarkan masuk Indonesia, mungkin karena dia dianggep “tjuma tjewek” dan memang agak djarang menulis tentang politik di Indonesia. Fred djuga. Hanja saja jang dianggep monster, sebagian karena saja aktif perkara pendjadjahan TimTim sampai membikin kesaksian di Congress Amerika djuga di PBB. Tentunja makin lama makin ada informasi2 baru, tetapi tidak banjak.
Setelah 1995 arsip Deplu AS dan Inggris mulai diterbitkan, tetapi terasa sekali bahwa dokumen tentang 65-66 sudah ‘ditjutji” sebelumnja. Kalo analisa CP itu kan dikatakan sementara, dan kami mengaku bahwa ada banjak bagian jang kurang tepat. Pribadi saja, jah terbuka kalau ada sardjana2 jang lebih muda bikin buku bagus tentang G30S. Perobahan pendapat saja lama2 berobah dari “jakin” pada analisa CP kepada “agnostic.” Kalo CP mungkin lemah, tetapi nggak bo’ong, toh dibandingkan dengan versi2 Tentara (jang penuh manipulasi) masih nggak terlalu djelek.
Buat saja, misteri utama adalah Sjam. Siapa dia sebenarnja. Kami dapat bukti bahwa pada tahun 48 dia mendjadi pegawai aparat birokrasi Belanda di Banten (mata2 RI atawa pengchianat?). Pada tahun 1951 dia terbukti menjadi tokoh PSI. Djuga di Banten, Pada tahun 58 dia mendjadi intel di KMKB Djakarta/Siliwangi.
Dari anaknja Aidit jang masih anak SD pada tahun 65-an saja dapat konfirmasi bahwa Sjam sering ke rumah bokapnja, dan pada suatu waktu Aidit membawa anak sulungnja ke Bandung dengan mobilnja Sjam, dengan Sjam sebagai supir. Djadi saja jakin bahwa Aidit dan Sjam dekat, tetapi apakah Sjam itu sebenarnja double agent –mata2 PKI di kalangan tentara dan mata2 TNI di kalangan PKI atas? Ketika Sjam memberi kesaksian ketika Sudisman dimahmilubkan, saja sangat heran karena gaya ngomongnja begitu lain dari omongan2 saksi PKI jang lain. Stylenja ada bau retorika Awal Revolusi Pemuda, bukan stylenja seorang Komunis –malahan sangat mirip dengan style “Pemuda” dari Subadio, itu tokoh PSI. Nampak sekali egoismenja dan sombongnja. Saja selalu ingat interviu dengan Parman, jang pada tahun 64 mendjadi kepala intel militer. Semula dia mengira bahwa saja anak CIA, lantas bilang: Don’t worry! I have a top informer in the highest PKI circles, so that every decision they make, I get to know it within satu dua djam. Gilanja ketika Parman mendjadi kepala intel tentara, kakaknja Ir. Sakirman mendjadi anggota Politbiro PKI - chas Melayu, bukan?■ awd www.indiependen.com
HALO kawan2 di Tanah Air! Djawaban2 jang berikut ini, djangan terlalu pertjaja jah karena Cornell Paper (CP) itu usianja 45 tahun lebih, dan saja ada banjak memory-loss alias tanda kepikunan.
Ingat saja, sumber2 kami sebagian besar koran2, jang dikirim oleh agen Library of Congress ke Cornell dan itu makan waktu sekitar l bulan. Jang paling penting adalah koran2 daerah jang ketika itu misih ada jang kere2an, plus ada reportase lokal jang berlainan dari isu koran2 Djakarta. Plus ada FBIS, bulletin setengah ‘resia” jang isinja siaran2 radio dari ampir setiap Negara di dunia –produk NSA. FBIS artinja Foreign Broadcasting Information Service. Bulletin2 ini tjepat, dan walaupun setengah resia, kok hampir semua perpustakaan universitas jang berkaliber mendjadi langganan.
Kami tjuriga dari awal, karena tjepat sekali dapat siar2an Untung cs dari FBIS. Pertama: Dewan Revolusi jang diumumkan sama sekali nggak masuk akal, karena sebagian besar orang2nja bukan tokoh ngetop,… malahan ada beberapa orang jang djelas ‘kanan.’ Kedua: pengumuman bahwa semua orang jang berstatus Kolonel, Brig Djen, Maj Gen, Let Gen (dan equivalennja di ALRI dan AURI) akan dihilangkan pangkat. Ini kan gila – sekaligus membuat puluhan, malahan ratusan tentara senior musuh dari G30S. Kami jakin bahwa Aidit cs nggak mungkin bikin pengumuman2 jang aneh dan gila itu. Koran2 Djakarta pada bulan Okrtober penuh sesak dengan bo’ongan jang gampang diliat konjolnja. Kalo PKI mendjadi mastermind, bo’ongan2 ini tak perlu dimasukin koran2 tentara. Djelas ada ‘strategi’ membohongi masjarakat -djadi ada apa jang mau disembunjikan oleh Harto cs.
Di Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) ketika itu, hanja 3 orang bule jang ada waktu untuk mendiskusikan apa jang terdjadi di Indonesia, plus fasih bahasa Indonesia dan ada pengalaman di Indonesia. Tentu seniornja Mbak Ruth (Ruth T. McVey, red), jang PhD selesai 2-3 tahun sebelumnja, dan belum mulai djadi professor. Djadi dia bebas 100%.
Saja sendiri masih tjoba2 menulis skripsi, (selesai baru pada bulan April 1967), plus saja harus mengadjar sebagai asisten Pak Kahin (George Mc Turnan Kahin, red). Fred Bunnell mendjadi jang paling junior. Belum bikin skripsi dan tidak mendjadi asisten. Selama bulan Oktober-November 1965 kami sama2 tjari informasi –dalam hal ini Fred dan Mbak Ruth paling radjin. Setelah itu, selama bulan Desember kami sudah sepakat bikin analisa sementara. Jang menulis hanja Mbak Ruuth dan saja. Karena top expert perkara PKI, dan berkenalan pribadi dengan tokoh2 top PKI. Mbak Ruth ditugaskan untuk menulis tentang mentalnja, karirnja, strategi politiknja dan lain2 –dimana kesimpulannja– nggak mungkin G30S mendjadi mastermind. Tugas saja adalah menulis narasi kedjadian2 selama awal tahun 65, prolog G30S, G30S orang2nja gimana, mulai pembantaian PKI. Fred mengatur tjakaran kaki. Pak Kahin sangat setudju dengan usaha kami, membatja naskah kami, dan mengurangi tugas2 saja.
Ketika naskah itu selesai, sekitar 6 Djanuari 66, kami sepakat bahwa karangan kami harus diresiakan, karena kami takut bahwa kawan2 kami di Indonesia dan di Cornell bisa tjelaka, mengingat suasana di Indonesia ketika itu. Tapi kami kirim eksemplar2nja kepada beberapa kolega –termasuk umpamanja Pak Wertheim, Pak Dan Lev– karena kami ingin komentar mereka, kritik djuga. Kepada orang2 ini kami bilang, naskah ini tak boleh disebut, tetapi info jang ada didalamnja boleh dipakai kalau mereka mau menulis tentang G30S. Tapi ternjata kami masih amatir2.
Pak Kahin, jang sibuk sekali melawan policy AS di Vietnam, dan sering ke Washington, pada suatu waktu mohon Mbak Ruth pergi ke Washington untuk tjerita tentang Cornell Paper dengan seorang kolumnis tersohor jang djuga sangat anti-Perang Vietnam. Si kolumnis inilah jang membotjorkan aktivitas kami. Sampai sekarang saja nggak tahu apakah dia memang bodoh (inosen) atawa tak peduli konsekwensi dari kolomnja. Tentunja birokrat2 di Deplu, CIA, Pentagon marah besar, dan skandal ini langsung dikasih tahu pada geng tentara di Djakarta.
Karena diketahui bahwa jang menulis CP itu misih graduate student, bukan professor, dan kami semua masih muda, ada strategi tentara untuk mendekati kami dengan kejakinan bahwa kami akan ngaku salah, dan achirnja akan menerima versi resmi. Pada summer 1967 dan 1968 saja masih diberikan visa untuk meneruskan membaiki skripsi saja jang achirnja diterbitkan sebagai buku pada tahun 1972. Tentunja saja harus hati2 sekali. Pak Kahin djuga kesono untuk melindungi saja dan Fred. Dia sering ketemu dengan djago2an militer dan sipil, dan selalu bilang pada mereka bahwa kami memang sangat muda, tetapi bukan orang2 jang ngotot. Ada kemungkinan kami akan merobah analisa kalau tentara sendiri memberikan dokumen2 penting, chususnja laporan2 stenografis dari Mahmilub.
Memang setelah itu ada delegasi besar (dua kali) Ali Murtopo, Benny Moer, dan grup jang pegang Mahmilub –setiap kali mereka memberikan fotokopi2 dari sidang Mahmilub. Djusteru di salah satu djilid saja ketemu laporan dari doktor2 ahli majat jang menganalisa luka2 pada badan djendral2 jang dibunuh oleh Tjakra pd 1 Oktober 65. Dokumen jang luar biasa masuk sebagai lampiran -Gila! Setelah membatja laporan itu, jang diarahkan langsung ke Harto, pada 5 Oktober 65, saja 100% jakin bahwa a) pembotjoran dokumen ini tidak dengan sengadja; b) membuktikan bahwa versi Tentara tentang G30S bo’ong melulu. Djendral2 dibunuh oleh tentara lain (ditembak), dan tidak ada penjiksaan apalagi mata dan konthol masing2 dipotong. Jah, tahun 1972 saja ditjekal.
Kemudian, Mbak Ruth pindah ke London, mendjadi prof di SOAS (School of Oriental and African Studies, red), sedangkan si Fred djuga djadi prof di Uni Vassar. Saja sendiri sangat sibuk sebagai prof muda jang belum dapat tenure, lagi pegang madjalah Indonesia, plus mulai bikin riset tentang Thailand, sambil beladjar bahasanja. Sebelum Mbak Ruth dan Fred pindah, kami radjin bikin arsip besar tentang tentara di Indonesia 1950-70, berdasarkan koran2 di pusat dan di daerah. Ini kami pakai untuk mengikuti riwajat, nasib, ideologi dari tentara, termasuk sedjarahnja sedjak revolusi. Karena itu kami bisa -setiap 1-2 tahun– untuk bikin analisa tentang perobahan personel dan pangkat di kalangan TNI. Arsip ini membuat Mbak Ruth bisa menelurkan dua naskah jang bagus tentang latar belakang grup Untung dan sekutu2nja, ditambah oleh hasil interviu2 dengan tentara, politisi, ex-tapol. Mbak Ruth dibiarkan masuk Indonesia, mungkin karena dia dianggep “tjuma tjewek” dan memang agak djarang menulis tentang politik di Indonesia. Fred djuga. Hanja saja jang dianggep monster, sebagian karena saja aktif perkara pendjadjahan TimTim sampai membikin kesaksian di Congress Amerika djuga di PBB. Tentunja makin lama makin ada informasi2 baru, tetapi tidak banjak.
Setelah 1995 arsip Deplu AS dan Inggris mulai diterbitkan, tetapi terasa sekali bahwa dokumen tentang 65-66 sudah ‘ditjutji” sebelumnja. Kalo analisa CP itu kan dikatakan sementara, dan kami mengaku bahwa ada banjak bagian jang kurang tepat. Pribadi saja, jah terbuka kalau ada sardjana2 jang lebih muda bikin buku bagus tentang G30S. Perobahan pendapat saja lama2 berobah dari “jakin” pada analisa CP kepada “agnostic.” Kalo CP mungkin lemah, tetapi nggak bo’ong, toh dibandingkan dengan versi2 Tentara (jang penuh manipulasi) masih nggak terlalu djelek.
Buat saja, misteri utama adalah Sjam. Siapa dia sebenarnja. Kami dapat bukti bahwa pada tahun 48 dia mendjadi pegawai aparat birokrasi Belanda di Banten (mata2 RI atawa pengchianat?). Pada tahun 1951 dia terbukti menjadi tokoh PSI. Djuga di Banten, Pada tahun 58 dia mendjadi intel di KMKB Djakarta/Siliwangi.
Dari anaknja Aidit jang masih anak SD pada tahun 65-an saja dapat konfirmasi bahwa Sjam sering ke rumah bokapnja, dan pada suatu waktu Aidit membawa anak sulungnja ke Bandung dengan mobilnja Sjam, dengan Sjam sebagai supir. Djadi saja jakin bahwa Aidit dan Sjam dekat, tetapi apakah Sjam itu sebenarnja double agent –mata2 PKI di kalangan tentara dan mata2 TNI di kalangan PKI atas? Ketika Sjam memberi kesaksian ketika Sudisman dimahmilubkan, saja sangat heran karena gaya ngomongnja begitu lain dari omongan2 saksi PKI jang lain. Stylenja ada bau retorika Awal Revolusi Pemuda, bukan stylenja seorang Komunis –malahan sangat mirip dengan style “Pemuda” dari Subadio, itu tokoh PSI. Nampak sekali egoismenja dan sombongnja. Saja selalu ingat interviu dengan Parman, jang pada tahun 64 mendjadi kepala intel militer. Semula dia mengira bahwa saja anak CIA, lantas bilang: Don’t worry! I have a top informer in the highest PKI circles, so that every decision they make, I get to know it within satu dua djam. Gilanja ketika Parman mendjadi kepala intel tentara, kakaknja Ir. Sakirman mendjadi anggota Politbiro PKI - chas Melayu, bukan?■ awd www.indiependen.com
Posting Komentar