Catatan Redaksi: Untuk melengkapi liputan Fokus kali ini, Redaksi
Indiependen menampilkan kembali artikel yang ditulis Bersihar
Parmonangan Lubis beberapa tahun lalu, sebagai ‘serpihan’ sejarah yang
–mungkin— tak banyak diketahui masyarakat.
Inilah kisah pertemuan dua anak manusia yang terpaksa harus berdiri berhadapan dengan latar belakang berbeda yang penuh dengan pertumpahan darah, akibat perbedaan ideologis yang dimanipulasi oleh motif ambisi kekuasaan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang seorang jenderal pasukan khusus TNI AD Sarwo Edhie (Mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dan yang muda anak dari Ketua Umum CC PKI DN Aidit.
Bagaimana kisah mereka, silahkan diikuti berikut ini:
JANTUNG anak muda berumur 22 tahun itu berdebar. Sebentar lagi ia akan bertatapan mata dengan Jenderal Pur. Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) –kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia tahu siapa Sarwo Edhie dalam gemuruh aksi pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-1966 silam.
Tentu saja ia tahu setelah dewasa, karena saat tragedi berdarah itu ia masih berumur enam tahun. Kisah ini terjadi pada 1981. Dan anak muda itu adalah seorang di antara kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung.
Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.
Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi gilirannya berhadapan langsung dengan Sarwo Edhie. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham.
“Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan,” kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.
Saya kira, peristiwa antara Sarwo dan Ilham adalah sejenis rekonsiliasi antara dua anak bangsa. Karena dengan nama Sarwo dan DN Aidit orang akan ingat tragedi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan beberapa jenderal TNI AD terbaik.
Orang akan ingat pengumuman Dewan Revolusi yang mengkudeta kepemimpinan Presiden Sukarno, tetapi kemudian berhasil diamankan oleh Jenderal Soeharto.
Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang peristiwa itu adalah PKI, seperti versi pemerintah RI. Namun sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan dan menambah pengetahuan publik tentang masa lalu yang hitam itu.
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara.
Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu.
Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana.
Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. “Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya,” kata Ilham.
Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri. “Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps,” kata Ilham.
Kisah barusan tak banyak diketahui publik. Mungkin, hanya faktor Dewi Fortuna saja jika Ilham berkenan menceritakannya kepada majalah tempat saya bekerja, Medium yang tidak lagi terbit sejak awal 2006 lalu. Sebagian dari bahan dan catatan tersisa, saya tulis lagi mungkin siapa tahu ada gunanya.
Mengenang sejarah tentu penting, walaupun lebih penting lagi bagaimana menyelesaikan bengkalai sejarah itu, tanpa perlu menghujat kanan kiri.
Sikap yang mau benar sendiri hanya akan kontraproduktif terhadap ikhtiar rekonsiliasi yang dicoba dijelmakan dalam UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004 lalu, Ilham mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono.
Ilham datang bersama teman-temannya dari Forum Silaturrahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari anak-anak korban G-30-S, DI/TII, dan sebagainya.
Dalam pertemuan di pesantren Daarut Tauhiid di Gegerkalong Bandung itu, juga hadir mantan gubernur dan mantan Pangdam Silliwangi, Solichin GP. Saat itu, Solichin mengisahkan kembali peristiwa 1965-1966 di Jawa Barat. Walau dekat dengan Jakarta, korban di Jawa Barat tidak lebih dari 20 orang. Padahal jumlah korban sangat berjibun di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah lainnya.
Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie ketika itu mengikuti instruksi dari Presiden Sukarno untuk tidak melakukan aksi pembantaian terhadap anggota PKI. Orang-orang PKI ditangkap tapi tak dibantai.
Ilham kala itu diungsikan ke Bandung dan menjadi murid SD Hidup Baru. Ia ingat kerap dihina temannya yang tahu ayahnya adalah DN Aidit. Saat masuk SMP Aloysius Bandung, ia sering berkelahi karena bapaknya dinista, dan Ilham selalu kalah. Masa SMA ia pindah ke SMA Kanisius Menteng Jakarta Pusat, dan kebetulah ibu asuhnya adalah sahabat baik istri Jenderal Abdul Haris Nasution.
Ia mulai sering diskusi dengan Ibu Nasution, dan mulai mengerti tak semua cerita tentang ayahnya benar. Sejak itu ia makin tegar menghadapi reaksi publik, hingga menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Parahyangan Bandung jurusan Arsitektur pada 1979 lalu.
Dalam pertemuan dua tahun silam itu di pesantren Aa Gym, Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.
“Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif,” kata Ilham.
Ketika itu, SBY yang berbaju batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham yang mengenakan kemeja lengan panjang.
Sekarang, Presiden SBY cenderung menebarkan ide perdamaian, baik dalam komentarnya tentang kasus Lebanon, Palestina maupun domestik. Pemerintahannya pun berhasil menunaikan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam setelah Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Jika SBY ikut dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian, akan semakin lengkap jika rekonsiliasi antar anak bangsa, termasuk masalah PKI bisa tunai dengan segera. Kita tak harus terus-terusan disandera masa lalu, sehingga tersendat dalam melangkah menuju masa depan.
Rekonsiliasi antar-pribadi sudah banyak berlangsung.
Sebelum menikahi Yuyun, Ilham memberi tahu calon mertuanya yang juga seorang prajurit TNI, bahwa ia adalah anak DN Aidit. Sang calon mertua kaget, dan diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian, sang calon mertua mengalah, dan merelakan Yuyun dinikahi Ilham.
Kasus G30S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Tetapi masalah bangsa dan negara yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.■
Oleh: Bersihar Lubis
wartawan senior, tinggal di Medan
(Sumber: www.theglobal-review.com/content.detail.php?lang=) www.indiependen.com
Inilah kisah pertemuan dua anak manusia yang terpaksa harus berdiri berhadapan dengan latar belakang berbeda yang penuh dengan pertumpahan darah, akibat perbedaan ideologis yang dimanipulasi oleh motif ambisi kekuasaan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang seorang jenderal pasukan khusus TNI AD Sarwo Edhie (Mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dan yang muda anak dari Ketua Umum CC PKI DN Aidit.
Bagaimana kisah mereka, silahkan diikuti berikut ini:
JANTUNG anak muda berumur 22 tahun itu berdebar. Sebentar lagi ia akan bertatapan mata dengan Jenderal Pur. Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) –kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia tahu siapa Sarwo Edhie dalam gemuruh aksi pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-1966 silam.
Tentu saja ia tahu setelah dewasa, karena saat tragedi berdarah itu ia masih berumur enam tahun. Kisah ini terjadi pada 1981. Dan anak muda itu adalah seorang di antara kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung.
Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.
Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi gilirannya berhadapan langsung dengan Sarwo Edhie. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham.
“Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan,” kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.
Saya kira, peristiwa antara Sarwo dan Ilham adalah sejenis rekonsiliasi antara dua anak bangsa. Karena dengan nama Sarwo dan DN Aidit orang akan ingat tragedi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan beberapa jenderal TNI AD terbaik.
Orang akan ingat pengumuman Dewan Revolusi yang mengkudeta kepemimpinan Presiden Sukarno, tetapi kemudian berhasil diamankan oleh Jenderal Soeharto.
Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang peristiwa itu adalah PKI, seperti versi pemerintah RI. Namun sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan dan menambah pengetahuan publik tentang masa lalu yang hitam itu.
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara.
Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu.
Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana.
Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. “Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya,” kata Ilham.
Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri. “Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps,” kata Ilham.
Kisah barusan tak banyak diketahui publik. Mungkin, hanya faktor Dewi Fortuna saja jika Ilham berkenan menceritakannya kepada majalah tempat saya bekerja, Medium yang tidak lagi terbit sejak awal 2006 lalu. Sebagian dari bahan dan catatan tersisa, saya tulis lagi mungkin siapa tahu ada gunanya.
Mengenang sejarah tentu penting, walaupun lebih penting lagi bagaimana menyelesaikan bengkalai sejarah itu, tanpa perlu menghujat kanan kiri.
Sikap yang mau benar sendiri hanya akan kontraproduktif terhadap ikhtiar rekonsiliasi yang dicoba dijelmakan dalam UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004 lalu, Ilham mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono.
Ilham datang bersama teman-temannya dari Forum Silaturrahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari anak-anak korban G-30-S, DI/TII, dan sebagainya.
Dalam pertemuan di pesantren Daarut Tauhiid di Gegerkalong Bandung itu, juga hadir mantan gubernur dan mantan Pangdam Silliwangi, Solichin GP. Saat itu, Solichin mengisahkan kembali peristiwa 1965-1966 di Jawa Barat. Walau dekat dengan Jakarta, korban di Jawa Barat tidak lebih dari 20 orang. Padahal jumlah korban sangat berjibun di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah lainnya.
Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie ketika itu mengikuti instruksi dari Presiden Sukarno untuk tidak melakukan aksi pembantaian terhadap anggota PKI. Orang-orang PKI ditangkap tapi tak dibantai.
Ilham kala itu diungsikan ke Bandung dan menjadi murid SD Hidup Baru. Ia ingat kerap dihina temannya yang tahu ayahnya adalah DN Aidit. Saat masuk SMP Aloysius Bandung, ia sering berkelahi karena bapaknya dinista, dan Ilham selalu kalah. Masa SMA ia pindah ke SMA Kanisius Menteng Jakarta Pusat, dan kebetulah ibu asuhnya adalah sahabat baik istri Jenderal Abdul Haris Nasution.
Ia mulai sering diskusi dengan Ibu Nasution, dan mulai mengerti tak semua cerita tentang ayahnya benar. Sejak itu ia makin tegar menghadapi reaksi publik, hingga menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Parahyangan Bandung jurusan Arsitektur pada 1979 lalu.
Dalam pertemuan dua tahun silam itu di pesantren Aa Gym, Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.
“Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif,” kata Ilham.
Ketika itu, SBY yang berbaju batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham yang mengenakan kemeja lengan panjang.
Sekarang, Presiden SBY cenderung menebarkan ide perdamaian, baik dalam komentarnya tentang kasus Lebanon, Palestina maupun domestik. Pemerintahannya pun berhasil menunaikan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam setelah Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Jika SBY ikut dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian, akan semakin lengkap jika rekonsiliasi antar anak bangsa, termasuk masalah PKI bisa tunai dengan segera. Kita tak harus terus-terusan disandera masa lalu, sehingga tersendat dalam melangkah menuju masa depan.
Rekonsiliasi antar-pribadi sudah banyak berlangsung.
Sebelum menikahi Yuyun, Ilham memberi tahu calon mertuanya yang juga seorang prajurit TNI, bahwa ia adalah anak DN Aidit. Sang calon mertua kaget, dan diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian, sang calon mertua mengalah, dan merelakan Yuyun dinikahi Ilham.
Kasus G30S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Tetapi masalah bangsa dan negara yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.■
Oleh: Bersihar Lubis
wartawan senior, tinggal di Medan
(Sumber: www.theglobal-review.com/content.detail.php?lang=) www.indiependen.com
Posting Komentar