Pertemuan Sarwo Edhie - Ilham Aidit
Catatan Redaksi: Untuk melengkapi liputan Fokus kali ini, Redaksi
Indiependen menampilkan kembali artikel yang ditulis Bersihar
Parmonangan Lubis beberapa tahun lalu, sebagai ‘serpihan’ sejarah yang
–mungkin— tak banyak diketahui masyarakat.
Inilah kisah pertemuan dua anak manusia yang terpaksa harus berdiri berhadapan dengan latar belakang berbeda yang penuh dengan pertumpahan darah, akibat perbedaan ideologis yang dimanipulasi oleh motif ambisi kekuasaan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang seorang jenderal pasukan khusus TNI AD Sarwo Edhie (Mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dan yang muda anak dari Ketua Umum CC PKI DN Aidit.
Bagaimana kisah mereka, silahkan diikuti berikut ini:
JANTUNG anak muda berumur 22 tahun itu berdebar. Sebentar lagi ia akan bertatapan mata dengan Jenderal Pur. Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) –kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia tahu siapa Sarwo Edhie dalam gemuruh aksi pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-1966 silam.
Tentu saja ia tahu setelah dewasa, karena saat tragedi berdarah itu ia masih berumur enam tahun. Kisah ini terjadi pada 1981. Dan anak muda itu adalah seorang di antara kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung.
Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.
Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi gilirannya berhadapan langsung dengan Sarwo Edhie. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham.
“Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan,” kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.
Saya kira, peristiwa antara Sarwo dan Ilham adalah sejenis rekonsiliasi antara dua anak bangsa. Karena dengan nama Sarwo dan DN Aidit orang akan ingat tragedi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan beberapa jenderal TNI AD terbaik.
Orang akan ingat pengumuman Dewan Revolusi yang mengkudeta kepemimpinan Presiden Sukarno, tetapi kemudian berhasil diamankan oleh Jenderal Soeharto.
Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang peristiwa itu adalah PKI, seperti versi pemerintah RI. Namun sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan dan menambah pengetahuan publik tentang masa lalu yang hitam itu.
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara.
Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu.
Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana.
Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. “Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya,” kata Ilham.
Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri. “Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps,” kata Ilham.
Kisah barusan tak banyak diketahui publik. Mungkin, hanya faktor Dewi Fortuna saja jika Ilham berkenan menceritakannya kepada majalah tempat saya bekerja, Medium yang tidak lagi terbit sejak awal 2006 lalu. Sebagian dari bahan dan catatan tersisa, saya tulis lagi mungkin siapa tahu ada gunanya.
Mengenang sejarah tentu penting, walaupun lebih penting lagi bagaimana menyelesaikan bengkalai sejarah itu, tanpa perlu menghujat kanan kiri.
Sikap yang mau benar sendiri hanya akan kontraproduktif terhadap ikhtiar rekonsiliasi yang dicoba dijelmakan dalam UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004 lalu, Ilham mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono.
Ilham datang bersama teman-temannya dari Forum Silaturrahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari anak-anak korban G-30-S, DI/TII, dan sebagainya.
Dalam pertemuan di pesantren Daarut Tauhiid di Gegerkalong Bandung itu, juga hadir mantan gubernur dan mantan Pangdam Silliwangi, Solichin GP. Saat itu, Solichin mengisahkan kembali peristiwa 1965-1966 di Jawa Barat. Walau dekat dengan Jakarta, korban di Jawa Barat tidak lebih dari 20 orang. Padahal jumlah korban sangat berjibun di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah lainnya.
Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie ketika itu mengikuti instruksi dari Presiden Sukarno untuk tidak melakukan aksi pembantaian terhadap anggota PKI. Orang-orang PKI ditangkap tapi tak dibantai.
Ilham kala itu diungsikan ke Bandung dan menjadi murid SD Hidup Baru. Ia ingat kerap dihina temannya yang tahu ayahnya adalah DN Aidit. Saat masuk SMP Aloysius Bandung, ia sering berkelahi karena bapaknya dinista, dan Ilham selalu kalah. Masa SMA ia pindah ke SMA Kanisius Menteng Jakarta Pusat, dan kebetulah ibu asuhnya adalah sahabat baik istri Jenderal Abdul Haris Nasution.
Ia mulai sering diskusi dengan Ibu Nasution, dan mulai mengerti tak semua cerita tentang ayahnya benar. Sejak itu ia makin tegar menghadapi reaksi publik, hingga menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Parahyangan Bandung jurusan Arsitektur pada 1979 lalu.
Dalam pertemuan dua tahun silam itu di pesantren Aa Gym, Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.
“Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif,” kata Ilham.
Ketika itu, SBY yang berbaju batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham yang mengenakan kemeja lengan panjang.
Sekarang, Presiden SBY cenderung menebarkan ide perdamaian, baik dalam komentarnya tentang kasus Lebanon, Palestina maupun domestik. Pemerintahannya pun berhasil menunaikan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam setelah Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Jika SBY ikut dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian, akan semakin lengkap jika rekonsiliasi antar anak bangsa, termasuk masalah PKI bisa tunai dengan segera. Kita tak harus terus-terusan disandera masa lalu, sehingga tersendat dalam melangkah menuju masa depan.
Rekonsiliasi antar-pribadi sudah banyak berlangsung.
Sebelum menikahi Yuyun, Ilham memberi tahu calon mertuanya yang juga seorang prajurit TNI, bahwa ia adalah anak DN Aidit. Sang calon mertua kaget, dan diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian, sang calon mertua mengalah, dan merelakan Yuyun dinikahi Ilham.
Kasus G30S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Tetapi masalah bangsa dan negara yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.■
Oleh: Bersihar Lubis
wartawan senior, tinggal di Medan
(Sumber: www.theglobal-review.com/content.detail.php?lang=) www.indiependen.com
Inilah kisah pertemuan dua anak manusia yang terpaksa harus berdiri berhadapan dengan latar belakang berbeda yang penuh dengan pertumpahan darah, akibat perbedaan ideologis yang dimanipulasi oleh motif ambisi kekuasaan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang seorang jenderal pasukan khusus TNI AD Sarwo Edhie (Mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dan yang muda anak dari Ketua Umum CC PKI DN Aidit.
Bagaimana kisah mereka, silahkan diikuti berikut ini:
JANTUNG anak muda berumur 22 tahun itu berdebar. Sebentar lagi ia akan bertatapan mata dengan Jenderal Pur. Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) –kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia tahu siapa Sarwo Edhie dalam gemuruh aksi pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-1966 silam.
Tentu saja ia tahu setelah dewasa, karena saat tragedi berdarah itu ia masih berumur enam tahun. Kisah ini terjadi pada 1981. Dan anak muda itu adalah seorang di antara kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung.
Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.
Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi gilirannya berhadapan langsung dengan Sarwo Edhie. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham.
“Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan,” kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.
Saya kira, peristiwa antara Sarwo dan Ilham adalah sejenis rekonsiliasi antara dua anak bangsa. Karena dengan nama Sarwo dan DN Aidit orang akan ingat tragedi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan beberapa jenderal TNI AD terbaik.
Orang akan ingat pengumuman Dewan Revolusi yang mengkudeta kepemimpinan Presiden Sukarno, tetapi kemudian berhasil diamankan oleh Jenderal Soeharto.
Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang peristiwa itu adalah PKI, seperti versi pemerintah RI. Namun sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan dan menambah pengetahuan publik tentang masa lalu yang hitam itu.
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara.
Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu.
Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana.
Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. “Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya,” kata Ilham.
Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri. “Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps,” kata Ilham.
Kisah barusan tak banyak diketahui publik. Mungkin, hanya faktor Dewi Fortuna saja jika Ilham berkenan menceritakannya kepada majalah tempat saya bekerja, Medium yang tidak lagi terbit sejak awal 2006 lalu. Sebagian dari bahan dan catatan tersisa, saya tulis lagi mungkin siapa tahu ada gunanya.
Mengenang sejarah tentu penting, walaupun lebih penting lagi bagaimana menyelesaikan bengkalai sejarah itu, tanpa perlu menghujat kanan kiri.
Sikap yang mau benar sendiri hanya akan kontraproduktif terhadap ikhtiar rekonsiliasi yang dicoba dijelmakan dalam UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004 lalu, Ilham mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono.
Ilham datang bersama teman-temannya dari Forum Silaturrahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari anak-anak korban G-30-S, DI/TII, dan sebagainya.
Dalam pertemuan di pesantren Daarut Tauhiid di Gegerkalong Bandung itu, juga hadir mantan gubernur dan mantan Pangdam Silliwangi, Solichin GP. Saat itu, Solichin mengisahkan kembali peristiwa 1965-1966 di Jawa Barat. Walau dekat dengan Jakarta, korban di Jawa Barat tidak lebih dari 20 orang. Padahal jumlah korban sangat berjibun di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah lainnya.
Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie ketika itu mengikuti instruksi dari Presiden Sukarno untuk tidak melakukan aksi pembantaian terhadap anggota PKI. Orang-orang PKI ditangkap tapi tak dibantai.
Ilham kala itu diungsikan ke Bandung dan menjadi murid SD Hidup Baru. Ia ingat kerap dihina temannya yang tahu ayahnya adalah DN Aidit. Saat masuk SMP Aloysius Bandung, ia sering berkelahi karena bapaknya dinista, dan Ilham selalu kalah. Masa SMA ia pindah ke SMA Kanisius Menteng Jakarta Pusat, dan kebetulah ibu asuhnya adalah sahabat baik istri Jenderal Abdul Haris Nasution.
Ia mulai sering diskusi dengan Ibu Nasution, dan mulai mengerti tak semua cerita tentang ayahnya benar. Sejak itu ia makin tegar menghadapi reaksi publik, hingga menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Parahyangan Bandung jurusan Arsitektur pada 1979 lalu.
Dalam pertemuan dua tahun silam itu di pesantren Aa Gym, Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.
“Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif,” kata Ilham.
Ketika itu, SBY yang berbaju batik dan berpeci diapit oleh Aa Gym yang bersorban dan Ilham yang mengenakan kemeja lengan panjang.
Sekarang, Presiden SBY cenderung menebarkan ide perdamaian, baik dalam komentarnya tentang kasus Lebanon, Palestina maupun domestik. Pemerintahannya pun berhasil menunaikan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam setelah Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Jika SBY ikut dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian, akan semakin lengkap jika rekonsiliasi antar anak bangsa, termasuk masalah PKI bisa tunai dengan segera. Kita tak harus terus-terusan disandera masa lalu, sehingga tersendat dalam melangkah menuju masa depan.
Rekonsiliasi antar-pribadi sudah banyak berlangsung.
Sebelum menikahi Yuyun, Ilham memberi tahu calon mertuanya yang juga seorang prajurit TNI, bahwa ia adalah anak DN Aidit. Sang calon mertua kaget, dan diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian, sang calon mertua mengalah, dan merelakan Yuyun dinikahi Ilham.
Kasus G30S-1965, bukanlah kasus antar-personal. Tetapi masalah bangsa dan negara yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula.■
Oleh: Bersihar Lubis
wartawan senior, tinggal di Medan
(Sumber: www.theglobal-review.com/content.detail.php?lang=) www.indiependen.com
Ben Anderson, G30S dan Cornell Paper
Pengantar Redaksi: Untuk liputan Fokus kali ini, Redaksi Indiependen mewawancarai Prof. Emeritus Benedict Anderson alias Soebeno alias Bargowo dari Cornell University, USA. Mengingat jawabannya utuh, maka Redaksi menyajikannya sebagai tulisan Ben “Subeno” Anderson alias Bargowo mengenai dirinya, G30S dan Cornell Paper. Berikut penuturannya lewat sajian yang khas.
HALO kawan2 di Tanah Air! Djawaban2 jang berikut ini, djangan terlalu pertjaja jah karena Cornell Paper (CP) itu usianja 45 tahun lebih, dan saja ada banjak memory-loss alias tanda kepikunan.
Ingat saja, sumber2 kami sebagian besar koran2, jang dikirim oleh agen Library of Congress ke Cornell dan itu makan waktu sekitar l bulan. Jang paling penting adalah koran2 daerah jang ketika itu misih ada jang kere2an, plus ada reportase lokal jang berlainan dari isu koran2 Djakarta. Plus ada FBIS, bulletin setengah ‘resia” jang isinja siaran2 radio dari ampir setiap Negara di dunia –produk NSA. FBIS artinja Foreign Broadcasting Information Service. Bulletin2 ini tjepat, dan walaupun setengah resia, kok hampir semua perpustakaan universitas jang berkaliber mendjadi langganan.
Kami tjuriga dari awal, karena tjepat sekali dapat siar2an Untung cs dari FBIS. Pertama: Dewan Revolusi jang diumumkan sama sekali nggak masuk akal, karena sebagian besar orang2nja bukan tokoh ngetop,… malahan ada beberapa orang jang djelas ‘kanan.’ Kedua: pengumuman bahwa semua orang jang berstatus Kolonel, Brig Djen, Maj Gen, Let Gen (dan equivalennja di ALRI dan AURI) akan dihilangkan pangkat. Ini kan gila – sekaligus membuat puluhan, malahan ratusan tentara senior musuh dari G30S. Kami jakin bahwa Aidit cs nggak mungkin bikin pengumuman2 jang aneh dan gila itu. Koran2 Djakarta pada bulan Okrtober penuh sesak dengan bo’ongan jang gampang diliat konjolnja. Kalo PKI mendjadi mastermind, bo’ongan2 ini tak perlu dimasukin koran2 tentara. Djelas ada ‘strategi’ membohongi masjarakat -djadi ada apa jang mau disembunjikan oleh Harto cs.
Di Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) ketika itu, hanja 3 orang bule jang ada waktu untuk mendiskusikan apa jang terdjadi di Indonesia, plus fasih bahasa Indonesia dan ada pengalaman di Indonesia. Tentu seniornja Mbak Ruth (Ruth T. McVey, red), jang PhD selesai 2-3 tahun sebelumnja, dan belum mulai djadi professor. Djadi dia bebas 100%.
Saja sendiri masih tjoba2 menulis skripsi, (selesai baru pada bulan April 1967), plus saja harus mengadjar sebagai asisten Pak Kahin (George Mc Turnan Kahin, red). Fred Bunnell mendjadi jang paling junior. Belum bikin skripsi dan tidak mendjadi asisten. Selama bulan Oktober-November 1965 kami sama2 tjari informasi –dalam hal ini Fred dan Mbak Ruth paling radjin. Setelah itu, selama bulan Desember kami sudah sepakat bikin analisa sementara. Jang menulis hanja Mbak Ruuth dan saja. Karena top expert perkara PKI, dan berkenalan pribadi dengan tokoh2 top PKI. Mbak Ruth ditugaskan untuk menulis tentang mentalnja, karirnja, strategi politiknja dan lain2 –dimana kesimpulannja– nggak mungkin G30S mendjadi mastermind. Tugas saja adalah menulis narasi kedjadian2 selama awal tahun 65, prolog G30S, G30S orang2nja gimana, mulai pembantaian PKI. Fred mengatur tjakaran kaki. Pak Kahin sangat setudju dengan usaha kami, membatja naskah kami, dan mengurangi tugas2 saja.
Ketika naskah itu selesai, sekitar 6 Djanuari 66, kami sepakat bahwa karangan kami harus diresiakan, karena kami takut bahwa kawan2 kami di Indonesia dan di Cornell bisa tjelaka, mengingat suasana di Indonesia ketika itu. Tapi kami kirim eksemplar2nja kepada beberapa kolega –termasuk umpamanja Pak Wertheim, Pak Dan Lev– karena kami ingin komentar mereka, kritik djuga. Kepada orang2 ini kami bilang, naskah ini tak boleh disebut, tetapi info jang ada didalamnja boleh dipakai kalau mereka mau menulis tentang G30S. Tapi ternjata kami masih amatir2.
Pak Kahin, jang sibuk sekali melawan policy AS di Vietnam, dan sering ke Washington, pada suatu waktu mohon Mbak Ruth pergi ke Washington untuk tjerita tentang Cornell Paper dengan seorang kolumnis tersohor jang djuga sangat anti-Perang Vietnam. Si kolumnis inilah jang membotjorkan aktivitas kami. Sampai sekarang saja nggak tahu apakah dia memang bodoh (inosen) atawa tak peduli konsekwensi dari kolomnja. Tentunja birokrat2 di Deplu, CIA, Pentagon marah besar, dan skandal ini langsung dikasih tahu pada geng tentara di Djakarta.
Karena diketahui bahwa jang menulis CP itu misih graduate student, bukan professor, dan kami semua masih muda, ada strategi tentara untuk mendekati kami dengan kejakinan bahwa kami akan ngaku salah, dan achirnja akan menerima versi resmi. Pada summer 1967 dan 1968 saja masih diberikan visa untuk meneruskan membaiki skripsi saja jang achirnja diterbitkan sebagai buku pada tahun 1972. Tentunja saja harus hati2 sekali. Pak Kahin djuga kesono untuk melindungi saja dan Fred. Dia sering ketemu dengan djago2an militer dan sipil, dan selalu bilang pada mereka bahwa kami memang sangat muda, tetapi bukan orang2 jang ngotot. Ada kemungkinan kami akan merobah analisa kalau tentara sendiri memberikan dokumen2 penting, chususnja laporan2 stenografis dari Mahmilub.
Memang setelah itu ada delegasi besar (dua kali) Ali Murtopo, Benny Moer, dan grup jang pegang Mahmilub –setiap kali mereka memberikan fotokopi2 dari sidang Mahmilub. Djusteru di salah satu djilid saja ketemu laporan dari doktor2 ahli majat jang menganalisa luka2 pada badan djendral2 jang dibunuh oleh Tjakra pd 1 Oktober 65. Dokumen jang luar biasa masuk sebagai lampiran -Gila! Setelah membatja laporan itu, jang diarahkan langsung ke Harto, pada 5 Oktober 65, saja 100% jakin bahwa a) pembotjoran dokumen ini tidak dengan sengadja; b) membuktikan bahwa versi Tentara tentang G30S bo’ong melulu. Djendral2 dibunuh oleh tentara lain (ditembak), dan tidak ada penjiksaan apalagi mata dan konthol masing2 dipotong. Jah, tahun 1972 saja ditjekal.
Kemudian, Mbak Ruth pindah ke London, mendjadi prof di SOAS (School of Oriental and African Studies, red), sedangkan si Fred djuga djadi prof di Uni Vassar. Saja sendiri sangat sibuk sebagai prof muda jang belum dapat tenure, lagi pegang madjalah Indonesia, plus mulai bikin riset tentang Thailand, sambil beladjar bahasanja. Sebelum Mbak Ruth dan Fred pindah, kami radjin bikin arsip besar tentang tentara di Indonesia 1950-70, berdasarkan koran2 di pusat dan di daerah. Ini kami pakai untuk mengikuti riwajat, nasib, ideologi dari tentara, termasuk sedjarahnja sedjak revolusi. Karena itu kami bisa -setiap 1-2 tahun– untuk bikin analisa tentang perobahan personel dan pangkat di kalangan TNI. Arsip ini membuat Mbak Ruth bisa menelurkan dua naskah jang bagus tentang latar belakang grup Untung dan sekutu2nja, ditambah oleh hasil interviu2 dengan tentara, politisi, ex-tapol. Mbak Ruth dibiarkan masuk Indonesia, mungkin karena dia dianggep “tjuma tjewek” dan memang agak djarang menulis tentang politik di Indonesia. Fred djuga. Hanja saja jang dianggep monster, sebagian karena saja aktif perkara pendjadjahan TimTim sampai membikin kesaksian di Congress Amerika djuga di PBB. Tentunja makin lama makin ada informasi2 baru, tetapi tidak banjak.
Setelah 1995 arsip Deplu AS dan Inggris mulai diterbitkan, tetapi terasa sekali bahwa dokumen tentang 65-66 sudah ‘ditjutji” sebelumnja. Kalo analisa CP itu kan dikatakan sementara, dan kami mengaku bahwa ada banjak bagian jang kurang tepat. Pribadi saja, jah terbuka kalau ada sardjana2 jang lebih muda bikin buku bagus tentang G30S. Perobahan pendapat saja lama2 berobah dari “jakin” pada analisa CP kepada “agnostic.” Kalo CP mungkin lemah, tetapi nggak bo’ong, toh dibandingkan dengan versi2 Tentara (jang penuh manipulasi) masih nggak terlalu djelek.
Buat saja, misteri utama adalah Sjam. Siapa dia sebenarnja. Kami dapat bukti bahwa pada tahun 48 dia mendjadi pegawai aparat birokrasi Belanda di Banten (mata2 RI atawa pengchianat?). Pada tahun 1951 dia terbukti menjadi tokoh PSI. Djuga di Banten, Pada tahun 58 dia mendjadi intel di KMKB Djakarta/Siliwangi.
Dari anaknja Aidit jang masih anak SD pada tahun 65-an saja dapat konfirmasi bahwa Sjam sering ke rumah bokapnja, dan pada suatu waktu Aidit membawa anak sulungnja ke Bandung dengan mobilnja Sjam, dengan Sjam sebagai supir. Djadi saja jakin bahwa Aidit dan Sjam dekat, tetapi apakah Sjam itu sebenarnja double agent –mata2 PKI di kalangan tentara dan mata2 TNI di kalangan PKI atas? Ketika Sjam memberi kesaksian ketika Sudisman dimahmilubkan, saja sangat heran karena gaya ngomongnja begitu lain dari omongan2 saksi PKI jang lain. Stylenja ada bau retorika Awal Revolusi Pemuda, bukan stylenja seorang Komunis –malahan sangat mirip dengan style “Pemuda” dari Subadio, itu tokoh PSI. Nampak sekali egoismenja dan sombongnja. Saja selalu ingat interviu dengan Parman, jang pada tahun 64 mendjadi kepala intel militer. Semula dia mengira bahwa saja anak CIA, lantas bilang: Don’t worry! I have a top informer in the highest PKI circles, so that every decision they make, I get to know it within satu dua djam. Gilanja ketika Parman mendjadi kepala intel tentara, kakaknja Ir. Sakirman mendjadi anggota Politbiro PKI - chas Melayu, bukan?■ awd www.indiependen.com
HALO kawan2 di Tanah Air! Djawaban2 jang berikut ini, djangan terlalu pertjaja jah karena Cornell Paper (CP) itu usianja 45 tahun lebih, dan saja ada banjak memory-loss alias tanda kepikunan.
Ingat saja, sumber2 kami sebagian besar koran2, jang dikirim oleh agen Library of Congress ke Cornell dan itu makan waktu sekitar l bulan. Jang paling penting adalah koran2 daerah jang ketika itu misih ada jang kere2an, plus ada reportase lokal jang berlainan dari isu koran2 Djakarta. Plus ada FBIS, bulletin setengah ‘resia” jang isinja siaran2 radio dari ampir setiap Negara di dunia –produk NSA. FBIS artinja Foreign Broadcasting Information Service. Bulletin2 ini tjepat, dan walaupun setengah resia, kok hampir semua perpustakaan universitas jang berkaliber mendjadi langganan.
Kami tjuriga dari awal, karena tjepat sekali dapat siar2an Untung cs dari FBIS. Pertama: Dewan Revolusi jang diumumkan sama sekali nggak masuk akal, karena sebagian besar orang2nja bukan tokoh ngetop,… malahan ada beberapa orang jang djelas ‘kanan.’ Kedua: pengumuman bahwa semua orang jang berstatus Kolonel, Brig Djen, Maj Gen, Let Gen (dan equivalennja di ALRI dan AURI) akan dihilangkan pangkat. Ini kan gila – sekaligus membuat puluhan, malahan ratusan tentara senior musuh dari G30S. Kami jakin bahwa Aidit cs nggak mungkin bikin pengumuman2 jang aneh dan gila itu. Koran2 Djakarta pada bulan Okrtober penuh sesak dengan bo’ongan jang gampang diliat konjolnja. Kalo PKI mendjadi mastermind, bo’ongan2 ini tak perlu dimasukin koran2 tentara. Djelas ada ‘strategi’ membohongi masjarakat -djadi ada apa jang mau disembunjikan oleh Harto cs.
Di Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) ketika itu, hanja 3 orang bule jang ada waktu untuk mendiskusikan apa jang terdjadi di Indonesia, plus fasih bahasa Indonesia dan ada pengalaman di Indonesia. Tentu seniornja Mbak Ruth (Ruth T. McVey, red), jang PhD selesai 2-3 tahun sebelumnja, dan belum mulai djadi professor. Djadi dia bebas 100%.
Saja sendiri masih tjoba2 menulis skripsi, (selesai baru pada bulan April 1967), plus saja harus mengadjar sebagai asisten Pak Kahin (George Mc Turnan Kahin, red). Fred Bunnell mendjadi jang paling junior. Belum bikin skripsi dan tidak mendjadi asisten. Selama bulan Oktober-November 1965 kami sama2 tjari informasi –dalam hal ini Fred dan Mbak Ruth paling radjin. Setelah itu, selama bulan Desember kami sudah sepakat bikin analisa sementara. Jang menulis hanja Mbak Ruuth dan saja. Karena top expert perkara PKI, dan berkenalan pribadi dengan tokoh2 top PKI. Mbak Ruth ditugaskan untuk menulis tentang mentalnja, karirnja, strategi politiknja dan lain2 –dimana kesimpulannja– nggak mungkin G30S mendjadi mastermind. Tugas saja adalah menulis narasi kedjadian2 selama awal tahun 65, prolog G30S, G30S orang2nja gimana, mulai pembantaian PKI. Fred mengatur tjakaran kaki. Pak Kahin sangat setudju dengan usaha kami, membatja naskah kami, dan mengurangi tugas2 saja.
Ketika naskah itu selesai, sekitar 6 Djanuari 66, kami sepakat bahwa karangan kami harus diresiakan, karena kami takut bahwa kawan2 kami di Indonesia dan di Cornell bisa tjelaka, mengingat suasana di Indonesia ketika itu. Tapi kami kirim eksemplar2nja kepada beberapa kolega –termasuk umpamanja Pak Wertheim, Pak Dan Lev– karena kami ingin komentar mereka, kritik djuga. Kepada orang2 ini kami bilang, naskah ini tak boleh disebut, tetapi info jang ada didalamnja boleh dipakai kalau mereka mau menulis tentang G30S. Tapi ternjata kami masih amatir2.
Pak Kahin, jang sibuk sekali melawan policy AS di Vietnam, dan sering ke Washington, pada suatu waktu mohon Mbak Ruth pergi ke Washington untuk tjerita tentang Cornell Paper dengan seorang kolumnis tersohor jang djuga sangat anti-Perang Vietnam. Si kolumnis inilah jang membotjorkan aktivitas kami. Sampai sekarang saja nggak tahu apakah dia memang bodoh (inosen) atawa tak peduli konsekwensi dari kolomnja. Tentunja birokrat2 di Deplu, CIA, Pentagon marah besar, dan skandal ini langsung dikasih tahu pada geng tentara di Djakarta.
Karena diketahui bahwa jang menulis CP itu misih graduate student, bukan professor, dan kami semua masih muda, ada strategi tentara untuk mendekati kami dengan kejakinan bahwa kami akan ngaku salah, dan achirnja akan menerima versi resmi. Pada summer 1967 dan 1968 saja masih diberikan visa untuk meneruskan membaiki skripsi saja jang achirnja diterbitkan sebagai buku pada tahun 1972. Tentunja saja harus hati2 sekali. Pak Kahin djuga kesono untuk melindungi saja dan Fred. Dia sering ketemu dengan djago2an militer dan sipil, dan selalu bilang pada mereka bahwa kami memang sangat muda, tetapi bukan orang2 jang ngotot. Ada kemungkinan kami akan merobah analisa kalau tentara sendiri memberikan dokumen2 penting, chususnja laporan2 stenografis dari Mahmilub.
Memang setelah itu ada delegasi besar (dua kali) Ali Murtopo, Benny Moer, dan grup jang pegang Mahmilub –setiap kali mereka memberikan fotokopi2 dari sidang Mahmilub. Djusteru di salah satu djilid saja ketemu laporan dari doktor2 ahli majat jang menganalisa luka2 pada badan djendral2 jang dibunuh oleh Tjakra pd 1 Oktober 65. Dokumen jang luar biasa masuk sebagai lampiran -Gila! Setelah membatja laporan itu, jang diarahkan langsung ke Harto, pada 5 Oktober 65, saja 100% jakin bahwa a) pembotjoran dokumen ini tidak dengan sengadja; b) membuktikan bahwa versi Tentara tentang G30S bo’ong melulu. Djendral2 dibunuh oleh tentara lain (ditembak), dan tidak ada penjiksaan apalagi mata dan konthol masing2 dipotong. Jah, tahun 1972 saja ditjekal.
Kemudian, Mbak Ruth pindah ke London, mendjadi prof di SOAS (School of Oriental and African Studies, red), sedangkan si Fred djuga djadi prof di Uni Vassar. Saja sendiri sangat sibuk sebagai prof muda jang belum dapat tenure, lagi pegang madjalah Indonesia, plus mulai bikin riset tentang Thailand, sambil beladjar bahasanja. Sebelum Mbak Ruth dan Fred pindah, kami radjin bikin arsip besar tentang tentara di Indonesia 1950-70, berdasarkan koran2 di pusat dan di daerah. Ini kami pakai untuk mengikuti riwajat, nasib, ideologi dari tentara, termasuk sedjarahnja sedjak revolusi. Karena itu kami bisa -setiap 1-2 tahun– untuk bikin analisa tentang perobahan personel dan pangkat di kalangan TNI. Arsip ini membuat Mbak Ruth bisa menelurkan dua naskah jang bagus tentang latar belakang grup Untung dan sekutu2nja, ditambah oleh hasil interviu2 dengan tentara, politisi, ex-tapol. Mbak Ruth dibiarkan masuk Indonesia, mungkin karena dia dianggep “tjuma tjewek” dan memang agak djarang menulis tentang politik di Indonesia. Fred djuga. Hanja saja jang dianggep monster, sebagian karena saja aktif perkara pendjadjahan TimTim sampai membikin kesaksian di Congress Amerika djuga di PBB. Tentunja makin lama makin ada informasi2 baru, tetapi tidak banjak.
Setelah 1995 arsip Deplu AS dan Inggris mulai diterbitkan, tetapi terasa sekali bahwa dokumen tentang 65-66 sudah ‘ditjutji” sebelumnja. Kalo analisa CP itu kan dikatakan sementara, dan kami mengaku bahwa ada banjak bagian jang kurang tepat. Pribadi saja, jah terbuka kalau ada sardjana2 jang lebih muda bikin buku bagus tentang G30S. Perobahan pendapat saja lama2 berobah dari “jakin” pada analisa CP kepada “agnostic.” Kalo CP mungkin lemah, tetapi nggak bo’ong, toh dibandingkan dengan versi2 Tentara (jang penuh manipulasi) masih nggak terlalu djelek.
Buat saja, misteri utama adalah Sjam. Siapa dia sebenarnja. Kami dapat bukti bahwa pada tahun 48 dia mendjadi pegawai aparat birokrasi Belanda di Banten (mata2 RI atawa pengchianat?). Pada tahun 1951 dia terbukti menjadi tokoh PSI. Djuga di Banten, Pada tahun 58 dia mendjadi intel di KMKB Djakarta/Siliwangi.
Dari anaknja Aidit jang masih anak SD pada tahun 65-an saja dapat konfirmasi bahwa Sjam sering ke rumah bokapnja, dan pada suatu waktu Aidit membawa anak sulungnja ke Bandung dengan mobilnja Sjam, dengan Sjam sebagai supir. Djadi saja jakin bahwa Aidit dan Sjam dekat, tetapi apakah Sjam itu sebenarnja double agent –mata2 PKI di kalangan tentara dan mata2 TNI di kalangan PKI atas? Ketika Sjam memberi kesaksian ketika Sudisman dimahmilubkan, saja sangat heran karena gaya ngomongnja begitu lain dari omongan2 saksi PKI jang lain. Stylenja ada bau retorika Awal Revolusi Pemuda, bukan stylenja seorang Komunis –malahan sangat mirip dengan style “Pemuda” dari Subadio, itu tokoh PSI. Nampak sekali egoismenja dan sombongnja. Saja selalu ingat interviu dengan Parman, jang pada tahun 64 mendjadi kepala intel militer. Semula dia mengira bahwa saja anak CIA, lantas bilang: Don’t worry! I have a top informer in the highest PKI circles, so that every decision they make, I get to know it within satu dua djam. Gilanja ketika Parman mendjadi kepala intel tentara, kakaknja Ir. Sakirman mendjadi anggota Politbiro PKI - chas Melayu, bukan?■ awd www.indiependen.com
Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka
tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia?
Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti
akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota
telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang
sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a
s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh
Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o
f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka.
Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya
didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti
akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu
izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian,
apakah yang saya artikan dengan perkataan „merdeka".
Merdeka
buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t
i e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan
politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya
banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam
bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang
kecil-kecil. „Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- „njelimet".
Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak
sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan
negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya
negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka,
Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris
merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi
bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau
kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini
selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya
kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari
rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini
atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn
Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan
Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa
otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih
makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi
Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh
yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara
Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun
rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat
membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo
Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat
Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu.
Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf,
P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca
tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai
njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal
ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan
mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia
merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai
dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah
yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu
risalah, Risalah yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di
dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan,
politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak
bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan di dalam kitab
itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan
kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s
a t u m a l a m, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam
kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah
ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h „jembatan" itu
diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e
m u d i a n d a r i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki
masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar
membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang
badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih
tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum
tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia
mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai
Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah
mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah
mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah
tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka t
e l a h dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di
seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru
mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan
Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta
kepada tuan-tuan sekalian,
janganlah tuan-tuan gentar di dalam
hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai
dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka.
Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan
demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya.
Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini
semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara,
kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi
zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan
sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah
menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan
nyata-nyata kita mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan
3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n
g , s e k a r a n g ! (Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita
menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas
kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan
sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke
onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n
! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini
diberikan kesempatan oleh Dai
Nippon untuk merdeka, maka dengan
mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau
Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau
umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada
sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence,
politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan:
Indonesia
merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon
sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah
saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu
dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan
negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara,
kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon
menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak
akan menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a
n g p u n kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara,
tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia,
Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a,
yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n
negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya.
Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi
minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik,
tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n
negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat
itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita,
Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua
siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu
bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah
pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun
demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan
dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang
takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu
gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada
permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang
mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah
mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah
saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah
berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu
„meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada
orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen!
Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk:
dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk
dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang
Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig,
belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya
yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu
tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara,
soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a a t a u
t i d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang
mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya
bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya
mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala
menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau
tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan.
Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun
ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat
mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat
kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
D i
d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a k a n
rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k
a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn
Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m
Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e k a - k a n hati bangsa
Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah
seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan,
banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem,
banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian
merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih
dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka
itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan
kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan
penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i
d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.
Inilah maksud saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e
m b a t a n e m a s, inilah, baru kita l e l u a s a menyusun
masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan
sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting.
Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh
berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum
internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun,
mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat
yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat,
pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup,
saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya,
kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah
yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak,
tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat
bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai
syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan
ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita
gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau
merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka",maka sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r.
Paduka
tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua
kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i
s c h e g r o n d s l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan
yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
„Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita
melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan
banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas
suatu„Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas
„national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler
itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu „Weltanschauung", yaitu
Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon
mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu
yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin". Diatas „Tennoo Koodoo Seishin"
inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan
negara Arabia di atas satu „Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar
agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua
yang mulia: Apakah „Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung"
ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam
pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di
seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam
„Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk
me"realiteitkan"„Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu,
sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila
beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan
dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya,
walaupun menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10
hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days that
shook the world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun
Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi
„Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas „Weltanschauung" yang
sudah ada. Dari 1895 „Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam
revolutie 1905,Weltanschauung itu „dicobakan", di
„generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905
telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri
„generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum
1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan.
Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya
dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah
berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di
dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara
Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan
di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah
bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini,
„Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener
Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau
dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas
dasar„Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun
itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara
Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
„Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme?
Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di
dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
„Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles"
San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi,
sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung
itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas
„Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia
merdeka di atas „Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah,
Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’ apakah?
Saudara-saudara
sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr
Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari
persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s
a t u a n p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu
„Weltanschauung" yang k i t a s e m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u
j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar
setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang
sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.
Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu
hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak
mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia
Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk
memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi
kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu?
Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan
yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya
telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita
hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun
golongan yang kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah salah satu dasar
pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung
di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam
sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25
tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat
negara Indonesia, ialah dasar
k e b a n g s a a n.
K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain:
maafkanlah
saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi
saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah
faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah
dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti
yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a l e s t a a t,
seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari
yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang
sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka
tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang
Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan,
nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia,
dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah,
kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u N a t i o n a l e S t a
a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat
besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya.
Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah
yang dinamakan bangsa?
Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest
Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu
kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi
bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa
dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu
definisi Otto Bauer, di dalam bukunya „Die Nationalitatenfrage", disitu
ditanyakan: „Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine Nation ist
eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft".
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi
kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest
Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah
tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah
„verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala
Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu
wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin,
kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar,
mengatakan tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara
orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan
tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat
dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan
Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan
„Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et desir". Mereka hanya
mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi
yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a
i r . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta
dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun,
jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu
kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan
yang besar,
lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia
dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa
pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda
Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu
kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada
peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur
benua Asia sebagai„golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific,
adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah
India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia
yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan,
bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani
dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah
s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan
Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah
Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka
manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat,
bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes
saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang
ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan
dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat
perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka
tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer
itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup definisi Otto
Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu.
Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa
di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini
merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk
Yogyapun adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya
satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat
Pasundan sangat merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun
hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata,
bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi
bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut
geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya
semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S e
l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le
desir d’etre
enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie
Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah
70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi s a t u, s a t u,
sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan hebat).
Kesinilah kita semua
harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu
golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun
golongan yang dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus
menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa
tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen,
bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh
Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan
Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh
semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen,
adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan
Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale
staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita
yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali
mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman
Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya
berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya
berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo,
bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan
hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu
Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun
merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada
Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya
berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale
staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman
Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita
mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b a n g s a a n I n d o
n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa,
bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau
lain-lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang
bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen
Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu
ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: „Saya
tidak mau akan kebangsaan".
T U A N L I M K O E N H I A N :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
T U A N S O E K A R N O :
Kalau
begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen
Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang
Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka
memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan,
tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit
kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa,
tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab,
tetapi semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen
bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a
kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun,
duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang
sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, -
katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan
sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada
tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang
memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min
Chu I" atau „The Three People’s Principles", saya mendapat pelajaran
yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam
hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a n, oleh
pengaruh „The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu,
jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang
dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada
Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta
Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip
kebangsaan
ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber
Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa
berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita
Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan
hal ini!
Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan „My nationalism is humanity".
Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme,
sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland
uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya
minulyo, berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang
dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada
harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta
meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru
inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor
dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i n t e
r n a s i o n a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s m e,
yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia,
tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika,
dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat
hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.
Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang
pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan
erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu
ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara
Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara
„semua buat semua", „satu buat semua,
semua buat satu". S a y a y a
k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a
n e g a r a I n d o n e s i a i a l a h p e r m u s y a w a r a t a
n p e r w a k i l a n .
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang
terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, --
maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi
kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya
hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan
hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan
di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan,
kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat
kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan
kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada
kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh
utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya
rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup
berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin
menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak
mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya
badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja,
bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk
dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan
sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,
hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu
nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i
d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah
orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata,
baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h Islam
Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata,
90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini
berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya
tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum
hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya
minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun
terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip
permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan
sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup,
jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih
kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik
di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan
selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip
perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan
saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya
orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan
negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar
suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak
ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan
di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira
dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa
Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita
sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan
gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi
Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor
3, yaitu prinsip permusyawaratan
Priinsip No. 4 sekarang saya
usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu
prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a k a n a d
a k e m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a.
Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min
Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus:
Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela,
ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua orang cukup makan,
cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu
Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita
pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan
Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah
Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah
diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu
badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela?
Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah
oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu,
sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah
yang dinamakan democratie disana itu hanyalah p o l i t i e- k e
democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak
ada k e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e
democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat
seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke
democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di
dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p
o l i t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang
boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid,
adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu
Jean Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t
i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti
Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, -
sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke
jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara,
saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi
barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k -
e c o m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan
sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang
dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah
sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya
merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang
di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena
itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta
rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan p o l i t i e k,
saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat,
hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi
badan yang b e r sa m a d e n g a n m a -s y a r a k a t dapat
mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale
rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini
bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya
ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam
urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih
monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt
erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena
saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya
tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan
bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus
dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita
pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi
kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki
Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki
Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip
monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip
K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam
bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
„egoisme-agama". Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a
yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,
maupun Kristen, dengan cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara
yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t - m e n g h o r m a t i s a t u s
a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad
s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita
susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada
Negara kita, ialah K e t u h a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n,
Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang
kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia
sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita
akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan,
perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita
masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara!
„Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti
kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima
bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima
oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya
bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya
azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan
Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuktangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya
boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada
saya, apakah „perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya
pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung
kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang
dahulu saya namakan
s o c i o - n a t i o n a l i s m e .
Dan
demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische
demokratie, yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale
rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan
pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan
s o c i o -d e m o c r a t i e.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi
yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme,
socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang
kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai
tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a
s e m u a harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan
Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van
Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi
Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a t s e m u a ! Jikalau saya
peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „ g o t o ng - r o y o n g „.
Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n g!
Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g !
(Tepuk tangan riuh rendah).
„Gotong
Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis
dari„kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo,
satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan,
amal ini, b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong adalah
pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan
bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g
a t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah).
Prinsip
Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam
dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan
yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya
usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila,
Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang
Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah
saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti
yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk
Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora
dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa
peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita
mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan
saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala,
bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan
purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api
peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan,
Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia
Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan
negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya
mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu,
sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara.
Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut
pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan
tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-
saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918
sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk
nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan
Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan;
untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah
yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.
Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara.
Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu
Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan
sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan,
menjadi r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n !
Janganpun
Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan
Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
„D e Mensch",
-- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu
tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi
realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak
dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa,
saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder
perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita
agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan
perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit
(tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder
perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula
perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat
Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya
Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau
kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka,
ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan
perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup
sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera
dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa
akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan,
dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara
Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya
berkata: D i - d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus
berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain
coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu,
berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam
Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah,
insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia
Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko,
-- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang
sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak
menekad-mati-matian
untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi
milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman!
Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya
berkobar-kobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya
minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah
meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya
telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya
anggap„verschrikkelijk zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadlirin.
(Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta, Cetakan kedua, 1949)
Label:
Ideologi
Tauhid Ahmadinejad dan Bung Karno
Mengapa Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, tidak gentar dengan Barat? Pidatonya saat membuka World Conference on Youth and Islamic Awakening
(29/1) memberikan sedikit latar. Kesempatan berharga penulis
mengikutinya kata per kata secara langsung. Di hadapan ribuan pemuda
dari 80-an negara berpenduduk muslim berbagai mazhab di seluruh dunia,
Ahmadinejad menyampaikan paparan filosofis mengapa bangsa-bangsa harus
bangkit (awakening) melawan tirani. Ada beberapa aspek
dalam diri dan kebijakannya yang kontroversial, tapi beberapa esensi
dalam pidatonya kali ini mengingatkan penulis pada Bung Karno dalam
posisinya tentang keberagamaan dan kekritisannya terhadap asing.
Allah menciptakan alam semesta,
menurut Ahmadinejad, untuk melayani manusia. Sebab manusia merupakan
makhluk Tuhan paling mulia, representasi Tuhan, dan refleksi nilai-nilai
ketuhanan. Manusia manifestasi terbaik Tuhan di muka bumi. Tuhan
mengkongratulasi diri-Nya dengan menciptakan manusia.
Misi utama manusia adalah
perfeksi (penyempurnaan) dan salvasi (penyelamatan). Argumentasi utama
kehadiran manusia adalah untuk mewujudkan atribut-atribut ketuhanan.
Misi tersebut dapat dicapai dengan dua faktor. Pertama,
keadilan. Keadilan merupakan faktor fundamental. Tanpa keadilan,
kebenaran dan kemuliaan manusia akan mati. Para nabi terdahulu telah
berusaha sekuat tenaga menggerakkan manusia ke arah penyempurnaan dan
penyelamatan. Mereka gigih berjuang menegakkan keadilan. Sebab tanpa
keadilan, tidak ada nilai ketuhanan yang bisa diwujudkan.
Kedua, kebebasan.
Manusia diciptakan sebagai makhluk merdeka. Mereka dapat membuat
pilihan. Mereka bebas menentukan nasibnya sendiri. Tanpa kebebasan,
manusia juga tidak bisa mewujudkan nilai-nilai dan atribut-atribut
ketuhanan yang melekat dalam diri mereka.
Dua faktor tersebut dapat direalisasikan melalui dua nilai fundamental. Satu,
monoteisme. Kepercayaan kita pada satu Tuhan akan memandu kita pada
perilaku adil. Berbagai agama semitik sesungguhnya berhulu pada Tuhan
yang sama. Musa, Ibrahim, Isa, dan Muhammad, semuanya adalah utusan
Tuhan. Mereka membawa agama Tuhan. Maka semua pemeluk agama harus
bersatu untuk menegakkan keadilan, bukan saling memusuhi satu sama lain.
Dua, cinta
dan kasih sayang sesama manusia. Kita tidak bisa merealisasikan
keadilan dan kebebasan tanpa adanya cinta dan kasih sayang antar sesama.
Para nabi utusan Tuhan merupakan manifestasi kemanusiaan: manusia
sebagai representasi nilai-nilai ketuhanan. Mereka semuanya menebarkan
cinta dan kasih sayang. Maka cinta terhadap sesama harus dimaknai
sebagai cinta terhadap kesempurnaan Tuhan, cinta kepada Tuhan.
Faktanya, misi penciptaan
manusia, misi para nabi, untuk mewujudkan nilai-nilai dan
atribut-atribut ketuhanan belum tercapai. Sebab, keadilan dan kebebasan
itu belum terwujud. Penyebabnya adalah adanya kelompok-kelompok selfish,
hegemonik, imperialis, dan arogan yang menghalangi manusia untuk
mencicipi keadilan, harga diri, juga kepercayaan mereka. Mereka berada
di dua level kekuasaan: lokal dan global.
Kelompok itu mengontrol
pemerintahan lokal negara-bangsa. Mereka mengendalikan sumber daya dan
kekayaan alam yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Mereka menjadi
tirani. Sekelompok orang menjadi penghalang terwujudnya filosofi
penciptaan makhluk: manusia dan semesta.
Merekalah musuh sejati
kemanusiaan. Mereka musuh pemeluk agama-agama. Umat beragama mesti
bersatu melakukan perlawanan atas tirani tersebut. Mereka harus bangkit
untuk tegaknya keadilan dan kebebasan.
Begitulah tauhid Ahmadinejad. Tauhid yang menjadi essence
untuk mempersatukan manusia, mengikat suatu bangsa dari beragam latar
agama. Revolusi umat beragama negara-bangsa apapun adalah revolusi
melawan tirani global, yaitu zionisme dan imperium global Amerika
Serikat, atau pemerintahan lokal yang menjadi komprador dan dikontrol
mereka. Sebab mereka semua menghalangi manifestasi filosofi penciptaan
makhluk (alam dan manusia). Maka wajar bila Iran memiliki hubungan mesra
dengan Venezuela atau Bolivia. Mereka punya garis pijak yang sama di
hadapan musuh kemanusiaan.
Dalam horizon filosofis
demikian, relevan untuk mengingat ulang “doktrin” Bung Karno tentang
ketuhanan dan Trisakti. Dalam proses perumusan Pancasila pada sidang
BPUPKI, Bung Karno menegaskan tentang ketuhanan sebagai “sila jangkar”
Pancasila. Pada pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno berujar lugas: “…Marilah
kita semuanya ber-Tuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan
tiada egoisme-agama…”
“…Marilah kita di Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip
kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan,
ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat
menghormati satu sama lain… Disinilah, dalam pangkuan asas yang kelima
inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang
ini akan mendapat tempat sebaik-baiknya…”
Itulah tauhid fungsional Bung
Karno. Monoteisme para penghamba Tuhan di Indonesia, menurut Bung Karno,
mestinya jadi energi yang mempersatukan mereka. Mereka berada di jalan
yang sama untuk memanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan
(divine values and attributes). Sesama pemeluk agama memiliki space yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan (divine virtues) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
Bila merujuk Bapak Pendiri
Bangsa tersebut, kita seharusnya menyesal menyaksikan situasi
keberagamaan kontemporer. Para pemeluk agama lebih sibuk mengurusi
teologi dan bahkan sekedar ritus pemeluk agama lainnya, alih-alih
bersatu memerangi musuh kemanusiaan: tiran yang merintangi perwujudan
filosofi penciptaan makhluk. Pemuka agama di suatu daerah lebih sering berfokus
mengupayakan agar pemeluk agama berbeda memeluk agamanya, daripada
berjuang agar kekayaan alam yang diciptakan Tuhan di daerah itu
betul-betul diperuntukkan bagi kesejahteraan manusianya.
Bangsa yang terdiri dari
manusia-manusia beragama mestinya bersatu untuk membela misi Tuhan
menciptakan manusia dan semesta. Konkritnya, menurut Bung Karno, dengan
cara sekuat tenaga menegakkan tiga kesaktian bangsa, Trisakti: berdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang kebudayaan.
Sudah terwujudkan Trisakti itu? Belum. Maka hindari “perang” antar sesama. Agenda mendesak kita, “jihad”
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, mewujudkan keadilan, dan
kebebasan kita untuk sejahtera oleh kekayaan alam ciptaan Tuhan untuk
kita. Untuk alasan itu, Ahmadinejad kini dan Bung Karno dulu, keras
melawan intervensi asing! http://politik.kompasiana.com/2012/07/06/tauhid-ahmadinejad-dan-bung-karno/
Label:
Artikel
Kebangkitan Nasionalis dalam Pemuda Demokrat Indonesia 1947
JAKARTA – Pemuda Demokrat Indonesia 1947 menggelar acara Silahturahmi dan Halal Bihalal di Aula Komisi Yudisial (KY), Jalan Kramat Raya, Jumat, 14 September 2012. Ratusan kader, simpatisan dan tamu menghadiri acara yang berlangsung pada pukul 19.00 WIB dengan mengangkat tema “Pemuda Demokrat Indonesia 1947 Siap Mempelopori Kebangkitan Nasionalis Indonesia.” Tentu bukan tanpa alasan tema tersebut diangkat oleh Ormas ini, di tengah lunturnya semangat dan spirit Nasionalisme. “Kita adalah anak kandung dari proses perjuangan Bung Karno. Saya ingatkan, kader-kader Pemuda Demokrat Indonesia 1947 ada untuk selalu memperjuangankan paham-paham aliran nasionalisme,” kata Edwin Hernawan Soekowati. Pemuda Demokrat Indonesia 1947 adalah independen dan mempunyai ciri khas mengamankan pancasila, UUD 1945 dan NKRI seperti yang diajarkan para Pendiri Bangsa, demikian ditambahkan Edwin yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Pemuda Demokrat Indonesia 1947.
Edwin juga mengingatkan, agar tetap berjuang dengan menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara. Edwin mencontohkan yang terjadi pada pegamalan sila-sila dan Pancasila khususnya sila keempat. Dia mengatakan, sila pertama, kedua, ketiga dan kelima penerapannya sudah baik, namun harus ditingkatkan.“Sila keempat sudah tidak dijalankan dengan baik di negara ini, juga oleh kita semua. Kita menganut musyawarah mufakat, tapi kita sekarang sudah menganut sistem bebas, pemilihan langsung. Ini demokrasi liberal yang menurut Bung Karno sebagai demokrasi ecek-ecek. Tapi, sekarang sudah dibuat sedemikian rupa, mau tidak mau kita ikut sistem yang mainstream tidak Pancasilais,” katanya.
“Indonesia saat ini berada dalam cengkeram dan sulit lepas dari jeratan liberalisme dengan ciri tidak berdaulat di negeri sendiri. Paham Kapitalisme dibiarkan masuk ke Indonesia berkolaborasi dengan pejabat menghasilkan pengusaha yang Neokolonialisme,” kata Sirra Prayuna. Ketua Umum DPP ini menerangkan bahwa, matinya industri kecil dan menengah yang merupakan soko guru ekonomi rakyat, merupakan gambaran nyata dari tidak berdayanya negeri yang kaya dan tercinta ini saat menghadapi hempasan neoliberalisme dan neokolonialisme.
“Pemuda Demokrat Indonesia 1947 adalah organisasi independen, plural, dan terdiri dari berbagai latar belakang. Kami tidak ingin masuk faksional kekuasaan, Ormas ini merupakan garda terdepan untuk memelopori kembali Nasionalisme itu. Jangan sampai kita tersandera sistem dan liberalisasi,” tambah Sirra.
Terkait dengan Pemilukada DKI Jakarta, Sirra menegaskan, siapapun pemenang nanti haruslah pemimpin yang Nasionalis, pemimpin yang pro-rakyat. Pemimpin yang baik juga haruslah mengenyampingkan kepentingan pragmatis, sederhana, jujur dan selalu berusaha untuk membangun dan mensejahterakan rakyat.
Pemuda Demokrat Indonesia didirikan pada tanggal 31 Mei 1947, didirikan oleh tokoh para tokoh Nasionalis, seperti Isnaeni dan Soebagyo Reksodipuro. Saat itu, secara resmi mereka terafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pada tahun 1962, nama organisasi diubah menjadi Pemuda Marhaenis. Krisis dan kisruh politik tahun 1965 terjadi perpecahan di internal Pemuda Marhaenis dan menjadi masa suramnya. Kegiatan vakum hingga tahun 1973, selanjutnya dibentuk kepengurusan baru Pemuda Marhaenis. Medio tahun 2002 ormas ini mengadakan Kongres dan melakukan perubahan keorganisasian, lalu mengangkat Haryanto Taslam sebagai Ketua Umum, dan Ribka Tjiptaning sebagai Sekjen. (Nasionalis)
JAKARTA – Pemuda Demokrat Indonesia 1947 menggelar acara Silahturahmi dan Halal Bihalal di Aula Komisi Yudisial (KY), Jalan Kramat Raya, Jumat, 14 September 2012. Ratusan kader, simpatisan dan tamu menghadiri acara yang berlangsung pada pukul 19.00 WIB dengan mengangkat tema “Pemuda Demokrat Indonesia 1947 Siap Mempelopori Kebangkitan Nasionalis Indonesia.” Tentu bukan tanpa alasan tema tersebut diangkat oleh Ormas ini, di tengah lunturnya semangat dan spirit Nasionalisme. “Kita adalah anak kandung dari proses perjuangan Bung Karno. Saya ingatkan, kader-kader Pemuda Demokrat Indonesia 1947 ada untuk selalu memperjuangankan paham-paham aliran nasionalisme,” kata Edwin Hernawan Soekowati. Pemuda Demokrat Indonesia 1947 adalah independen dan mempunyai ciri khas mengamankan pancasila, UUD 1945 dan NKRI seperti yang diajarkan para Pendiri Bangsa, demikian ditambahkan Edwin yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Pemuda Demokrat Indonesia 1947.
Edwin juga mengingatkan, agar tetap berjuang dengan menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara. Edwin mencontohkan yang terjadi pada pegamalan sila-sila dan Pancasila khususnya sila keempat. Dia mengatakan, sila pertama, kedua, ketiga dan kelima penerapannya sudah baik, namun harus ditingkatkan.“Sila keempat sudah tidak dijalankan dengan baik di negara ini, juga oleh kita semua. Kita menganut musyawarah mufakat, tapi kita sekarang sudah menganut sistem bebas, pemilihan langsung. Ini demokrasi liberal yang menurut Bung Karno sebagai demokrasi ecek-ecek. Tapi, sekarang sudah dibuat sedemikian rupa, mau tidak mau kita ikut sistem yang mainstream tidak Pancasilais,” katanya.
“Indonesia saat ini berada dalam cengkeram dan sulit lepas dari jeratan liberalisme dengan ciri tidak berdaulat di negeri sendiri. Paham Kapitalisme dibiarkan masuk ke Indonesia berkolaborasi dengan pejabat menghasilkan pengusaha yang Neokolonialisme,” kata Sirra Prayuna. Ketua Umum DPP ini menerangkan bahwa, matinya industri kecil dan menengah yang merupakan soko guru ekonomi rakyat, merupakan gambaran nyata dari tidak berdayanya negeri yang kaya dan tercinta ini saat menghadapi hempasan neoliberalisme dan neokolonialisme.
“Pemuda Demokrat Indonesia 1947 adalah organisasi independen, plural, dan terdiri dari berbagai latar belakang. Kami tidak ingin masuk faksional kekuasaan, Ormas ini merupakan garda terdepan untuk memelopori kembali Nasionalisme itu. Jangan sampai kita tersandera sistem dan liberalisasi,” tambah Sirra.
Terkait dengan Pemilukada DKI Jakarta, Sirra menegaskan, siapapun pemenang nanti haruslah pemimpin yang Nasionalis, pemimpin yang pro-rakyat. Pemimpin yang baik juga haruslah mengenyampingkan kepentingan pragmatis, sederhana, jujur dan selalu berusaha untuk membangun dan mensejahterakan rakyat.
Pemuda Demokrat Indonesia didirikan pada tanggal 31 Mei 1947, didirikan oleh tokoh para tokoh Nasionalis, seperti Isnaeni dan Soebagyo Reksodipuro. Saat itu, secara resmi mereka terafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pada tahun 1962, nama organisasi diubah menjadi Pemuda Marhaenis. Krisis dan kisruh politik tahun 1965 terjadi perpecahan di internal Pemuda Marhaenis dan menjadi masa suramnya. Kegiatan vakum hingga tahun 1973, selanjutnya dibentuk kepengurusan baru Pemuda Marhaenis. Medio tahun 2002 ormas ini mengadakan Kongres dan melakukan perubahan keorganisasian, lalu mengangkat Haryanto Taslam sebagai Ketua Umum, dan Ribka Tjiptaning sebagai Sekjen. (Nasionalis)
Label:
Berita
Pemuda Demokrat Prihatin dengan Pancasila yang Dikesampingkan
Pemuda Demokrat atau yang biasa dikenal Pemuda Marhaenis Kota Yogyakarta merasa prihatin karena ideologi Pancasila kini semakin dikesampingkan.
Hal itu diungkapkan Pengurus DPC Pemuda Demokrat Kota Yogyakarta, Agus Wahyu Sukoco, dalam acara halal bi halal Pemuda Demokrat, di kediaman salah satu pelopor organisasi tersebut di Kuwarasan Gamping Sleman, Sabtu (8/9).
Agus menegaskan, ideologi pancasila hingga saat ini justru semakin luruh. Banyak pejabat di pemerintahan tidak berpijak pada pemahaman ideologi pancasila.
Hal itu mengakibatkan pelaksanaan pemerintah tidak berjalan sesuai harapan. Menurutnya, bahkan para wakil rakyat di legislatif juga tidak melaksanakan amanat dalam pancasila itu. Akibatnya, masyarakat kerap menjadi kaum yang dirugikan atas kebijakan yang dibuat pemerintah.
"Kami bicara secara umum tentang Pancasila. Kami ingin sebarkan lagi ideologi bangsa ini. Acara halal bi halal ini menjadi kesempatan kami untuk diskusi," ungkap Agus, Sabtu (8/9/2012).
Dalam acara halal bi halal tersebut, setidaknya hadir 50 perwakilan DPC Pemuda Demokrat seluruh DIY.
Selain syawalan, acara diskusi tentang pancasila menjadi greget tersendiri dalam pertemuan rutin per tahun itu. Gerakan pemuda yang lahir sejak 1947 tersebut juga merasa prihatin karena selama ini nama pemuda demokrat kerap dikait-kaitkan dengan nama partai.
Padahal, menurut Agus, Pemuda Demokrat sama juga dengan Pemuda Marhaens. "Pemuda Demokrat tidak terikat partai manapun. Pemuda Demokrat bebas," ungkapnya. (tribunjogja.com)
Label:
Berita